Jakarta – Sudah puluhan tahun konflik bersenjata di Bumi Papua tak kunjung menemukan titik usai. Telah terjadi berbagai peristiwa baku tembak antara Aparat Keamanan dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) separatis pro kemerdekaan Papua yang sering kali membuat warga sipil menjadi korban. Konflik tersebut terjadi dari era orde baru hingga reformasi saat ini, yang awalnya konflik terjadi karena tuntutan kemerdekaan kemudian meluas hingga isu rasial.
Menjadi pertanyaan kemudian, apakah yang salah dari penanganan negara terhadap konflik Papua yang terlalu berlarut-larut? Dan tepatkah pendekatan represif atau militeristik dengan menggunakan aparat keamanan bersenjata untuk menyelesaikan konflik Papua?
Label “Teroris” bagi KKB
Minggu (25/04/2021) terjadi insiden baku tembak antara aparat bersenjata dengan KKB yang membuat Mayjen TNI (Anumerta) I Gusti Putu Danny Nugraha yang juga merupakan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Papua gugur.
Peristiwa tersebut direspons cepat oleh pemerintah dengan menetapkan KKB sebagai teroris lebih spesifik bagi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) serta para pendukungnya sebagai teroris, tidak hanya sebagai gerakan separatis. Namun sangat potensial hal tersebut justru akan meningkatkan eskalasi konflik yang berujung pada legitimasi tindakan sewenang-wenang aparat bersenjata.
Label teroris juga dapat berimplikasi penambahan pasukan TNI dan Polri yang sudah ada sebelumnya, serta masuknya BNPT dan Densus 88 sebagai aparatur khusus penanganan terorisme. Hal yang kita tidak harapkan terjadi eskalasi konflik tinggi membuat masyarakat sipil kembali menjadi korban. Apabila itu terjadi, tentunya akan membuat jalan dialog untuk menyelesaikan konflik Papua semakin menjauh.
Soft Approach, Belajar dari Perjanjian Helsinki
Di samping sebagai kekayaan, keanekaragaman suku-suku dan budaya merupakan dasar fondasi kuat berdirinya bangsa ini, yang semuanya sepakat untuk berdaulat dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Papua merupakan bagian penting tak terpisahkan dalam perjalanan bangsa ini, apa yang terjadi di sana adalah masalah kita bersama dan perlu solusi dari kita semua.
Kita tidak boleh melupakan tujuan negara Indonesia sebagaimana alinea keempat pembukaan UUD 1945 yakni, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagai tujuan pertama. Harusnya negara mempertimbangkan perlindungan masyarakat Papua sebagai prioritas, sebab pendekatan militeristik perlu dievaluasi kembali karena telah banyak menelan korban sipil tak berdosa.
Kegagalan pendekatan militeristik, membuat berbagai pihak mendorong pemerintah untuk mengubah upaya penyelesaian konflik ke arah yang lebih soft secara politis yang mengedepankan dialog. Sesungguhnya model seperti ini pernah diterapkan dan terbukti berhasil untuk meredakan konflik.
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, untuk menyelesaikan konflik di Papua, Gus Dur memilih dialog secara hangat dan humanis. Singkat cerita, pada pada 30 Desember 1999 dalam agenda kunjungannya ke Papua, yang mana saat itu masih bernama Irian Jaya, Gus Dur mengundang berbagai tokoh masyarakat Papua termasuk dari pihak "Gerakan Papua Merdeka" untuk berdiskusi.
Tanpa adanya pengamanan yang ketat, Gus Dur kemudian mendengarkan segala aspirasi baik yang pro NKRI maupun pro kemerdekaan Papua. Setelah forum selesai, Gus Dur mengambil kebijakan mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua dan mengizinkan pengibaran bintang kejora sebagai bendera kultural di bawah bendera merah putih yang lebih tinggi. Meskipun kebijakan tersebut dinilai tidak populer dan kontroversial, namun justru efektif meredakan konflik di Papua.
Soft approach lain yang dapat dijadikan contoh penanganan konflik yakni Perjanjian Helsinki. Perjanjian disepakati oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005, yang tujuannya untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat bagi semua. Kesepakatan Helsinki merinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi.
Perjanjian Helsinki melalui perundingan yang berlangsung sebanyak lima kali pertemuan, dimulai pada 27 Januari 2005 dan berakhir pada 15 Agustus 2005. Pertemuan pertama berlangsung dari 27 hingga 29 Januari 2005, pertemuan kedua dari 21 Februari 2005 hingga 23 Februari 2005, pertemuan ketiga dari 12 April 2005 hingga 14 April 2005, pertemuan keempat dari 26 Mei 2005 hingga 31 Mei 2005, pertemuan kelima dari 12 Juli 2005 hingga 17 Juli 2005 dan penandatanganan perjanjian pada 15 Agustus 2005.
Perjanjian terdiri dari 71 pasal. Antara lain, Aceh diberi wewenang melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ihwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, di mana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.
Perjanjian Helsinki merupakan wujud dari implementasi nilai Pancasila dengan mengedepankan musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan permasalahan sebagai sesama anak bangsa. Poin pentingnya adalah, Perjanjian Helsinki dapat dijadikan pelajaran berharga bagi Pemerintah untuk segera mengubah gaya penyelesaian konflik Papua agar lebih humanis dengan mengedepankan dialog dan musyawarah. Sebab, penyelesaian konflik dengan pendekatan militer malah memperparah keadaan, membuat kita dipandang buruk di mata dunia, menimbulkan ketakutan dan membuat masyarakat sipil menjadi korban.
Fahmi Ramadhan Firdaus, S.H., M.H. - Peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember
Read more