Liputan6.com, Paris - Presiden Prancis Emmanuel Macron dinyatakan positif COVID-19. Padahal, beberapa hari terakhir ia masih terpantau mengadakan pertemuan, seperti ketika membahas iklim.
Kondisi Presiden Macron diumumkan oleh istana kepresidenan Élysée pada Kamis (17/12/2020). Berikut bunyi pengumumannya:
Presiden Republik telah didiagnosis positif COVID-19 hari ini.
Diagnosis ini dilakukan dengan tes RT-PCR yang dilaksanakan saat gejala muncul pertama kali.
Berdasarkan protokol kesehatan yang diterapkan untuk semua orang, Presiden Republik mengisolasi diri selama tujuh hari. Ia akan melanjutkan kerja and aktivitasnya dengan menjaga jarak.
Twitter resmi Presiden Macron terpantau masih sepi.
Belakangan ini, nama Presiden Macron menjadi sorotan karena mengecam teroris yang memenggal kepala guru sejarah karena menunjukan kartun Nabi Muhammad buatan Charlie Hebdo di kelasnya.
Presiden Macron berkata dirinya tidak anti-Islam, meski demikian ia berkata Charlie Hebdo punya hak untuk menggambar kartun Nabi Muhammad.
Surat Klarifikasi Presiden Macron: Prancis Tidak Pernah Anti-Islam
Pada November lalu, Presiden Prancis Emmanuel Macron merilis surat klarifikasi atas tudingan yang menyebutnya anti-Islam. Ia menegaskan negaranya anti-separatisme dan anti-terorisme, bukan anti agama tertentu.
Kontroversi terkait ucapan Macron mencuat setelah kasus-kasus terorisme di Paris dan Nice. Salah satu korbannya adalah guru yang dibunuh di jalanan.
Emmanuel Macron juga mengutip ucapan Ibnu Sina dalam suratnya.
Presiden Macron menyebut melihat ada kalangan tertentu di Prancis yang menyebar ajaran radikal. Mereka itulah yang dikecam Macron sebagai separatis.
"Di beberapa distrik serta internet, ada kelompok-kelompok Islam radikal yang memberi ajaran kepada anak-anak Prancis untuk membenci Republik, mengajak agar tidak menghormati undang-undang. Itulah yang saya panggil 'separatisme' dalam pidato saya," tulis Presiden Macron di situs kepresidenan Elysee, Kamis 5 November 2020.
Presiden Macron menjelaskan ada orang-orang yang bertindak tak sesuai dengan nilai-nilai Prancis. Contohnya di beberapa daerah ada yang menyuruh anak-anak balita memakai voile integral (cadar atau niqab). Mereka juga memisahkan anak laki-laki dan perempuan.
Otoritas daerah setempat mengupayakan dialog dengan kelompok tersebut, namun mereka risau terhadap ancaman serangan pisau.
"Melawan hal itulah hari ini Prancis berjuang. Melawan proyek-proyek kebencian dan kematian yang membahayakan anak-anak kita. Tidak pernah melawan Islam," ujar Macron.
"Melawan tipu daya, melawan fanatisme, melawan ekstremis berbahaya. Bukan agama," ia menegaskan.
Tidak Anti Agama Manapun
Presiden Prancis berkata negaranya menjadi target teroris karena isu kebebasan. Terkait hal itu, Macron menegaskan tidak akan mundur untuk mempertahankan nilai-nilai yang dianut Prancis.
Macron berkata hak untuk kebebasan sudah tertera di Deklarasi HAM Prancis sejak 1789.
Presiden Macron berkata sudah lebih dari 300 rakyat Prancis menjadi korban serangan radikal sejak 2015. Korbannya mulai dari polisi, guru, jurnalis, hingga rakyat sipil. Ia menyebut pelakunya adalah teroris yang "membawa-bawa nama Islam."
Namun, ia mengkritik pihak-pihak yang menyebut Prancis anti terhadap Muslim. Ia menegaskan Prancis adalah agama sekuler yang tidak ikut campur urusan agama individu.
"Saya tak akan membiarkan siapapun mengklaim bahwa Prancis, atau pemerintahnya, sedang menyebar rasisme terhadap umat Muslim. Prancis, kami diserang karena ini, merupakan sekuler bagi umat Muslim seperti juga untuk umat Kristen, umat Yahudi, umat Buddha, dan semua kepercayaan.
"Netralitas negara, yang tak pernah mengintervensi urusan agama, menjamin kebebasan ibadah. Pasukan penegak hukum kita sama-sama melindungi masjid, gereja, dan sinagoge," ujar Presiden Macron.
Mengutip Ucapan Ibnu Sina
Dalam suratnya, Macron turut mengapresiasi sumbangan pengetahuan dari dunia Muslim, seperti dalam bidang matematika, sains, dan arsitektur.
Macron turut kembali mengkritik pihak-pihak yang dianggap memelintir omongannya. Ia lantas mengutip ucapan Ibnu Sina tentang kebencian.
"Ditulis oleh Ibnu Sina: ketidaktahuan menyebabkan ketakutan, ketakutan menyebabkan kebencian, dan kebencian menyebabkan kekerasan."
Oleh sebab itu, Macron meminta agar tak ada lagi orang yang tidak paham masalah dan malah menimbulkan kebencian pada pemimpin Prancis, karena hal demikian sudah jelas akan mengarah ke mana.
Macron menutup suratnya dengan meminta agar semua pihak berpikir jernih serta bijaksana.
Infografis COVID-19:
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Read more