Penyakit Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) telah menjadi pandemi global sejak awal tahun 2020. Namun hingga saat ini belum ada obat yang secara efektif dapat mengobati pasien COVID-19 dan diterima oleh kalangan medis secara luas.
Diketahui beberapa obat yang telah digunakan untuk melawan COVID-19 seperti Remdesivir obat virus Ebola; Klorokuin, Hidroksikklorokuin, Lopinavir-ritonavir yang merupakan obat virus HIV; Oseltamivir dan Faviprinavir yang biasa digunakan pada influenza; dan Tocilizumab belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan.
Ketika belum ada obat COVID-19 yang efektif, maka harapan pengobatan beralih pada upaya pencegahan melalui vaksin dan terapi plasma konvalesen bagi pasien COVID-19.
Apa itu efikasi?
Efikasi merupakan istilah yang biasa digunakan dalam dunia kedokteran dan farmakologi yang merujuk pada respons maksimum yang dapat dicapai dari sediaan farmasi, dalam lingkup penelitian.
Efikasi suatu obat atau terapi menunjukkan seberapa besar manfaat yang dihasilkan oleh obat tersebut dibandingkan dengan placebo/kelompok kontrol dalam tahap penelitian.
Sedangkan efektivitas suatu obat atau terapi mengacu pada bagaimana obat atau terapi mempunyai efek terapeutik yang cukup dan adanya perubahan yang menguntungkan dalam lingkup klinis pasien. Biasanya efektivitas suatu obat atau terapi lebih rendah dari efikasinya, yang diakibatkan adanya interaksi dengan obat lain dalam tubuh pasien atau berkaitan dengan kondisi kesehatan klinis pasien.
Vaksin COVID-19
Vaksin merupakan cara yang efektif dan ekonomis dalam mencegah penyakit menular. Pemberian vaksin telah terbukti dapat mengurangi angka kematian, mencegah terjangkitnya penyakit, dan meningkatkan kesembuhan. Saat ini terdapat lebih dari 40 perusahaan farmasi di dunia sedang melakukan pengembangan terhadap vaksin COVID-19.
Sebelum vaksin mendapatkan lisensi untuk diedarkan, vaksin harus melalui uji ketat terkait keamanan, imunogenitas dan efikasinya pada hewan percobaan di laboratorium, serta harus melewati fase uji klinis pada manusia.
Uji klinis pada manusia dilakukan dalam tiga fase, yaitu:
Uji klinis fase I dilakukan pada 10-100 sampel, untuk menilai keamanan dan imunogenitas vaksin pada orang dengan risiko rendah. Biasanya dilakukan pada orang dewasa yang sehat.
Uji klinis fase II dilakukan pada 100-1.000 sampel, untuk memantau keamanan vaksin, potensi adanya efek simpang, respons imun, menentukan dosis optimal dan jadwal pemberian vaksin.
Uji klinis fase III dilakukan pada 1.000 – 10.000 sampel, untuk untuk mendeteksi kejadian yang sangat jarang terjadi dan untuk kejadian yang lambat terjadinya (delayed reaction).
Meskipun vaksin sudah melalui tiga fase uji klinis dan mendapatkan lisensi, namun harus tetap dilakukan pemantauan terhadap keamanan untuk mengidentifikasi dan mencatat reaksi vaksin yang jarang terjadi dan lambat munculnya. Hasil penilaian tersebut juga harus disampaikan kepada masyarakat, untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap program pemberian vaksin.
Di Indonesia terdapat 4 lembaga yang sedang meneliti vaksin COVID-19 yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Eijkmann, Universitas Indonesia, dan Universitas Airlangga. PT Bio Farma, juga sedang berada dalam proses penelitian vaksin bersama SinoVac dari China untuk menjalankan studi fase 2 dan 3 di Indonesia.
Ada beberapa perusahaan produsen vaksin COVID-19 yang telah merilis nilai efikasi produk vaksinnya, antara lain Moderna dengan efikasi 95%, Pfizer BioNTech denganefikasi 95%, AstraZeneca Oxford University denganefikasi 62% pada dosis awal dan 90% untuk dosis kedua, Gamaleya (Sputnik V) dengan efikasi 92% dan Sinopharm dengan efikasi 86%.
Plasma konvalesen
Terapi plasma konvalesen juga dikembangkan untuk mengobati pasien COVID-19. Terapi menggunakan plasma darah bukan hal baru dalam dunia kedokteran. Terapi ini telah dilakukan untuk pengobatan wabah flu babi, Ebola, SARS, dan MERS.
Saat ini sejumlah uji klinis sedang berjalan untuk mempelajari manfaat lebih lanjut dan risiko penggunaan plasma konvalesen. Terapi plasma konvalesen COVID-19 adalah suatu terapi yang menggunakan plasma darah yang mengandung antibody dari orang yang telah 14 hari dinyakatan sembuh dari infeksi COVID-19.
Pemberian plasma konvalesen diberikan kepada pasien yang mengarah pada kondisi kegawatan dan pasien sakit berat, sebagai tambahan pengobatan. Karena masih dalam fase uji klinis, maka pasien yang diberikan plasma konvalesen harus menandatangai surat persetujuan (Informed Concent) atas tindakan yang akan diberikan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rajendran, et al (2020), menunjukkan bahwa plasma konvalesen dapat menjadi pilihan terapi yang menunjukkan perbaikan gejala klinis dan penurunan angka kematian pasien COVID-19. Dosis Konvalesen plasma yang dianjurkan minimal 200 mL dosis tunggal plasma dengan titer antibodi >1:640. Plasma konvalesen pada beberapa penelitian juga menunjukkan adanya perbaikan gejala klinis pasien, memperpendek lama hari rawat, bersifat kuratif, meningkatkan kesembuhan dan menurunkan risiko kematian pada pasien COVID-19.
Pertimbangan risiko dan manfaat penggunaan plasma konvalesen sebagai terapi COVID-19 masih sangat terbatas. Diharapkan plasma keonvalesen ini dapat berfungsi sebagai profilaksis, di mana plasma dapat mencegah perkembangan penyakit pada pasien dengan manifestasi klinis berat. Hal ini akan bermanfaat terutama bagi populasi yang rentan, dan mempunyai faktor risiko terkena COVID-19. Bila plasma konvalesen telah terbukti dapat menurunkan tingkat kematian dan komplikasi maka hal tersebut akan membantu mengurangi kelebihan beban kerja tenaga medis, dan dapat meningkatkan angka kesembuhan pasien COVID-19.
Referensi:
Maulana, M.S. 2020. Efektivitas Efikasi Pemberian Terapi Konvalesen Plasma pada Pasien Covid-19 Evidence Based Case Report. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. Volume 7 no.3.
Husada, Dominicus. 2020. Vaksin SARS-CoV-2:Tinjauan Kepustakaan. J Indon Med Assoc. Volum: 70, Nomor: 10
WHO. 2020. Keamanan Vaksin Pra Lisensi (Sebelum Lisensi)
Read more