Ketika musim mudik Lebaran tiba, jutaan orang berbondong-bondong pulang kampung, meski pemerintah telah melarang karena pandemi virus corona. Upaya meminimalisir jumlah pemudik pun dilakukan dengan cara menerapkan penyekatan di setiap perbatasan kota, di mana pengemudi yang kedapatan kena razia mudik diminta putar balik oleh Polisi.
Tak jarang upaya tersebut malah memicu ketegangan antara pengemudi yang tak terima diputar balik dengan aparat yang melakukan razia. Salah satunya adalah video yang menampilkan adu mulut antara penumpang wanita dengan polisi akibat tak diminta putar balik di kawasan Sukabumi.
Videonya viral di media sosial dan mendapat berbagai tanggapan netizen. Lantas, kenapa manusia bisa marah sampai berteriak dan memaki di depan umum?
Menurut pakar psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad), Dr. Ahmad Gimmy Pratama, kondisi tersebut bisa terjadi akibat sejumlah faktor yang mendasarinya. Menurutnya, perilaku marah seseorang dilatarbelakangi aspek personal dan lingkungan. Di aspek personal, marah dipengaruhi sistem psikofisiologis. Mulai dari tingkat ketahanan fisik hingga kemampuan berpikir, mengelola emosi, serta kemampuan individu dalam membaca nilai-nilai yang ada di sekitar.
Sementara aspek lingkungan, perilaku marah dipengaruhi kondisi lingkungan sekitar, cuaca, hingga reaksi lingkungan sosial maupun lingkungan fisiknya. Jika dikaitkan dengan peristiwa pemudik yang marah-marah saat ditegur polisi, hal tersebut diakibatkan oleh luapan emosi yang mengendap saat pemudik melakukan perjalanan.
Kondisi lalu lintas yang macet ditambah fisik yang lelah dan cuaca panas, bisa membuat emosi seseorang mengendap. Sehingga ketika menghadapi hambatan selanjutnya, emosi yang mengendap tersebut akan meledak.
“(Pemudik) mengalami frustasi. Adanya kebijakan penghambat akhirnya frustasi menimbulkan agresi dan menimbulkan kondisi yang tidak menyenangkan,” papar Gimmy sebagaimana dikutip di website resmi unpad.ac.id.
Meski demikian, marah juga dipengaruhi oleh kemampuan individu dalam mengendalikan dirinya. Karena itu, tidak semua orang akan langsung marah saat menemui kondisi serupa. Selama aspek rasionalnya masih ada, kemampuan orang dalam mengendalikan emosinya akan lebih baik.
Hukum sosial
Gimmy bilang, pemudik yang marah karena tak terima di putar balik mestinya diberi sanksi. Ini bertujuan agar mereka menjadi lebih matang dan jera. Sanksi yang diberikan pun tidak perlu berupa hukuman penjara. Sebaliknya, pemudik nakal sebaiknya diberi sanksi sosial.
“Polisi sebaiknya melakukan pendekatan restorative justice atau pendekatan yang menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan atau keseimbangan bagi pelakunya,” ujar Gimmy.
“Jangan hanya minta maaf lalu selesai. Harusnya ada hukuman sosial, seperti bersih-bersih kantor polisi atau kerja sosial lainnya. Biar orang melihat bahwa pelaku tersebut dihukum.”
Lebih lanjut, Gimmy mengatakan bahwa reaksi marah berlebihan akan berdampak buruk. Salah satunya jika reaksi tersebut dilihat langsung oleh anak kecil. Anak yang melihat langsung bagaimana orang tua ataupun orang dewasa meluapkan emosi berlebihan akan ditiru saat ia dewasa.
Manajemen Marah
Perilaku marah bisa dikelola dengan baik. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengenali situasi dan menyiapkan tindakan antisipasi. Salah satunya menerima adanya kebijakan pembatasan mobilitas. Dengan mengenali situasi dan menyiapkan tindakan antisipasi, diharapkan emosi yang keluar akan jauh lebih layak.
Jika emosi berlebihan kadung keluar, seseorang perlu menyampaikan permintaan maaf. Namun, permintaan maaf tersebut perlu dibarengi dengan konsekuensi dan tanggung jawab.
Terakhir, kata Gimmy, seseorang perlu membiasakan diri untuk mampu mengungkapkan emosi dengan cara yang pantas. Namun, hal ini tidak bisa secara instan. Butuh proses yang panjang dan komitmen tinggi untuk bisa mengelola emosi dengan baik. Bahkan, Gimmy menganjurkan agar proses kelola emosi ini sudah dilatih sejak dini.
“Biasakan untuk berpikir apakah marah ini benar atau tidak. Itu yang harus dilatih dan tidak bisa serta merta langsung pintar,” katanya.
Read more