Berada di sisi selatan Pulau Adonara, Lamahala merupakan satu dari sedikit desa di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki penduduk seratus persen Muslim.
Denyut Islam masih kuat terjaga dalam kehidupan sekitar 7.000 penduduk Lamahala yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan.
Berbagai kegiatan dari ibadah rutin harian, pendidikan keagamaan untuk anak, hingga adat istiadat bernapaskan Islam menjadi warna keseharian desa yang berada di kabupaten dengan mayoritas penduduk beragama Katolik. Kini, tak kurang dari 14 surau dan satu masjid besar bernama Jami Al Maruf telah berdiri dan terus menyiarkan Islam di Lamahala.
Kuatnya napas Islam di Lamahala tak lepas dari latar belakang sejarahnya sebagai salah satu kerajaan Islam yang disegani bangsa kolonial, Portugis dan Belanda.
Di antara kerajaan-kerajaan yang berdiri di Flores Timur, Lamahala menjadi salah satu kerajaan yang tidak mau tunduk kepada pemerintah kolonial, baik kepada Portugis maupun Belanda. Sejumlah peperangan pun ditempuh rakyat Lamahala dalam mempertahankan negaranya.
Ada dua panglima Kerajaan Lamahala yang tercatat sebagai pahlawan bangsa karena kegigihannya memimpin rakyat melawan penjajah, antara lain Kapitan Lingga saat masa kolonial Portugis dan Kapitan Belae pada masa kolonial Belanda.
Bahkan, saking sulitnya kaum penjajah menaklukkan Lamahala, Belanda pun mengambil langkah tipu muslihat. Salah satu pahlawan Lamahala, Kapitan Belae pun jadi korban. Setelah awalnya diajak berunding, ternyata pada akhirnya ditangkap dan diasingkan Belanda ke Jawa hingga wafat serta dimakamkan di sana.
Lamahala sendiri berkembang menjadi kerajaan Islam di Pulau Adonara sejak akhir abad ke-14 atau berbarengan dengan masuknya Islam dari Demak dan Bugis ke Flores serta pulau-pulau lain di sekitarnya, termasuk Adonara.
Selain Lamahala, di Pulau Adonara terdapat dua kerajaan Islam lainnya, antara lain Kerajaan Trong di sisi barat pulau dan Kerajaan Adonara di sisi utara pulau. Lamahala sendiri menguasai sisi selatan Pulau Adonara hingga Pulau Leur di dekat Pulau Lembata.
Sejak berdirinya hingga medio 1940-an, Raja Lamahala tidak sekadar sebagai lembaga adat setempat, tetapi juga sebagai pemimpin negara yang mengatur segala sendi kehidupan masyarakatnya.
Sistem kerajaan berakhir saat pemerintahan Raja Isma’il Adi pada medio 1942-1962. “Dengan adanya pengakuan Lamahala sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), selanjutnya kekuasaan raja hanya sebagai pemimpin adat dan untuk hukum perundang-undangan kami tunduk pada aturan yang berlaku di Indonesia,” kata raja ke-19 sang pemimpin Kerajaan Lamahala saat ini, Raja Haji Adnan Sangaji.
Masa kejayaan telah berlalu, generasi terkini Lamahala pun dihadapkan dalam pelestarian tradisi di tengah modernisasi. Sejumlah peninggalan nenek moyang Kerajaan Lamahala pun masih terawat hingga kini. Istana Raja Lamahala, bangunan pertama Lamahala Rumah Adat Lawaha, dan sejumlah pusaka menjadi warisan nenek moyang yang dirawat bersama oleh masyarakat Lamahala.
“Kalau bukan kami siapa lagi. Kalau generasi penerus tidak peduli, musnah sudah budaya di Lamahala ini,” kata salah satu warga Lamahala, Hamid Bonda Atapukan.
***
Read more